Pemerintah AS Gunakan AI untuk Mencabut Visa Mahasiswa yang Diduga Dukung Hamas

JAKARTA – Pemerintah Amerika Serikat akan menerapkan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) untuk mencabut visa mahasiswa asing yang dianggap mendukung kelompok militan Hamas. Langkah ini pertama kali dilaporkan oleh Axios dan dikonfirmasi oleh Reuters pada Jumat (7/3/2025).

1. Pencabutan Visa Mahasiswa

Fox News melaporkan bahwa Departemen Luar Negeri AS telah mencabut visa seorang mahasiswa yang diduga mendukung Hamas saat berpartisipasi dalam demonstrasi pro-Palestina. Departemen tersebut mengkategorikan demonstrasi tersebut sebagai gangguan publik. Ini merupakan tindakan pertama dalam kebijakan baru yang bertujuan menindak tegas mahasiswa asing yang dianggap mendukung kelompok teroris.

Menteri Luar Negeri Marco Rubio menegaskan bahwa Amerika Serikat tidak akan mentoleransi keberadaan pengunjung asing yang menunjukkan dukungan terhadap terorisme.

“Pelanggar hukum AS akan menghadapi penolakan masuk, pencabutan visa, serta deportasi,” ujar Rubio melalui media sosial.

Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya yang lebih luas dalam memerangi antisemitisme, sebagaimana diamanatkan dalam perintah eksekutif yang ditandatangani oleh Presiden Donald Trump pada Januari lalu. Trump juga berjanji untuk mendeportasi mahasiswa asing dan individu lainnya yang terlibat dalam protes pro-Palestina yang semakin marak setelah serangan militer Israel di Gaza menyusul serangan Hamas pada Oktober 2023.

“Para agitator akan dipenjara atau dipulangkan secara permanen ke negara asal mereka. Mahasiswa Amerika yang terlibat akan menghadapi sanksi berat, termasuk kemungkinan penangkapan,” ujar Trump pada Selasa (4/3/2025).

2. Pemantauan Media Sosial dengan AI

Axios melaporkan bahwa inisiatif ini, yang disebut sebagai “Catch and Revoke,” akan melibatkan pemantauan akun media sosial puluhan ribu pemegang visa mahasiswa dengan bantuan AI. Teknologi ini digunakan untuk menganalisis aktivitas online mahasiswa terkait demonstrasi anti-Israel serta konten yang dianggap antisemit.

Selain itu, pejabat AS juga akan meninjau laporan berita tentang aksi protes dan tuntutan hukum dari mahasiswa Yahudi yang menyoroti dugaan keterlibatan warga negara asing dalam aksi antisemitisme.

Fox News melaporkan bahwa Departemen Luar Negeri AS, bekerja sama dengan Departemen Kehakiman dan Keamanan Dalam Negeri, akan menangani kasus-kasus ini secara langsung. Pejabat AS mengklaim kebijakan ini bertujuan untuk melindungi keamanan nasional dan mengurangi potensi ancaman dari individu yang memiliki keterkaitan dengan kelompok militan.

Namun, langkah ini telah memicu kekhawatiran di kalangan aktivis hak asasi manusia. Mereka menyoroti kemungkinan pelanggaran terhadap kebebasan berbicara dan hak berkumpul yang dijamin oleh Amandemen Pertama Konstitusi AS. Para aktivis mengkritik penggunaan AI dalam pemantauan ekspresi politik, mengingat teknologi ini belum sepenuhnya dapat memahami kompleksitas opini politik.

“Alat AI tidak dapat diandalkan untuk menangkap nuansa ekspresi terkait isu kompleks seperti konflik Israel-Palestina,” kata Sarah McLaughlin, seorang akademisi di yayasan kebebasan sipil.

Kesimpulan Kebijakan baru AS dalam mencabut visa mahasiswa yang diduga mendukung Hamas menimbulkan perdebatan. Di satu sisi, pemerintah mengklaim kebijakan ini diperlukan untuk keamanan nasional. Namun, di sisi lain, para aktivis menyoroti risiko penyalahgunaan AI dalam membatasi kebebasan berbicara. Dengan meningkatnya penggunaan AI dalam kebijakan imigrasi, penting bagi pemerintah untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaannya.